GUNUNG SUMBING
17 menit menjelang perpindahan hari, saya
sudah berada pada titik terjenuh dalam ruangan kotak persegi di kota
yang panas ini — kosan. Kombinasi klimaks gerah dan panas; gerah menanti
persertujuan tugas akhir dari pesan yang tidak kunjung dibalas dan
panas melihat jejaring sosial media mulai menunjukkan gejolak,
mobilisasi kalimat orang-orang yang mencari kesenangan di akhir pekan
yang panjang. Tuhan itu Maha Adil, ke-iseng-an saya ternyata berbuah
hasil, dengan sangat random, akhirnya 9 – 12 Mei tahun ini menjadi pelengkap cerita masa muda yang menyenangkan, 3371 mdpl adalah tujuan utamanya, trekking is everything, yes!
Gunung Sumbing – 3371 mdpl
Gunung Sumbing (3371 mdpl) merupakan
gunung tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Slamet (3428 mdpl).
Gunung ini terletak di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung.
Layaknya pasangan, gunung ini berdampingan dengan Gunung Sindoro, hanya
dipisahkan oleh jalan raya Wonosobo – Temanggung. Sama halnya dengan
Gunung Merapi dan Gunung Merbabu via Selo (gunung aja punya pasangan ya?
#eh haha). Secara legal ada 4 jalur pendakian yaitu; Jalur Garung,
Jalur Tedeng, Jalur Cepit dan Jalur Cengklok.
Lika-liku Jalur Garung dari Puncak Buntu
Pucuk pucuk pucuk … Jalur Lama Garung
Pendakian ini dimulai pukul 20.10 WIB. 10 menit adalah waktu yang harus ditempuh dari Basecamp Sumbing menuju Masjid Al Mansyur
(simpang jalur lama dan baru – Sekretariat Stick Pala) jalurnya? —
aspal mulus disambung dengan jalan rata berbatu, benar-benar rata hingga
begitu licin ketika hujan. Sebenarnya saya sangat menghindari pendakian
malam hari alasannya karena saya tidak bisa melihat jelas kondisi fisik
jalur, selain itu alasan utamanya karena saya penakut.
Basecamp Sumbing (Dusun Garung, Desa Butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo)
Pos I jalur ini dikenal dengan nama Malim,
waktu tempuh dari masjid dengan tempo jalan normal adalah 3 jam, kami
hemat 30 menit karena tiba tepat pukul 22.40 WIB. Kondisi fisik jalur
menuju Pos II Genus (2240 mdpl) adalah tanah liat,
terjal dan gersang, 2 jam jalan normal. Saya akhirnya bersyukur,
pendakian ini dilakukan pada malam hari yang lembab, kalau saja siang
hari mungkin akan lebih berat. Awalnya kami berniat ‘hajar’ sampai pos camp terakhir sebelum puncak, aha apa boleh buat cuma niat,
kondisi fisik kami menyerah lemah pada sapaan kondisi fisik jalur,
akhirnya kami memutuskan untuk membangun tenda di pos II. Pos ini cukup
luas, bisa menampung 3-4 tenda kapasitas 5 orang, dan sangat disarankan
karena jalur berikutnya semakin terjal.
Pos II – Genus (2240 mdpl)
Sangat disarankan setiap pendaki membawa
minum lebih jika melewati Jalur Lama Garung, karena tidak ada pos air,
minimal 5 L/orang. Pos ini menjadi saksi bisu kesepakatan manajemen air
yang sangat ketat, saya percaya 1 prinsip ‘pendakian kering’; pelit pangkal selamat.
Singkat cerita pendakian ini menyebabkan urine kuning pekat selama
beberapa waktu, berbahaya namun akan lebih berbahaya jika dehidrasi
tanpa air.
Perjalanan dari Genus menuju Pos III Sedlupak Roto
(pertemuan Jalur Lama garung – Jalur Tedeng) dapat ditempuh selama 2
jam. Sarapan kami pagi itu kenyang dengan tanjakan terjal tanah liat —
#hufh. Pos ini merupakan pelataran kapasitas 3 tenda. Awalnya perjalanan
begitu kosong, tanpa canda tawa yang berarti, hanya diam, senyum,
bengong tanpa makna, atau manahan haus dan lapar. Kondisi ini tidak
boleh dibiarkan dalam pendakian, karena dapat menyebabkan situasi
membosankan dan cepat lelah, sudah saatnya melepaskan ke-jaim-an karena
baru kenal, saya mulai melakukan sejumlah ke-iseng-an untuk memecah
suasana, ya begitulah.
Pos berikutnya adalah Pestan
(2763 mdpl) kondisi jalur yang dilalui merupakan punggungan bervegetasi
tropis, masih sama — terjalnya. Waktu yang dibutuhkan ‘menyantap’ jalur
ini adalah 10 menit. Pestan merupakan lokasi camp yang mampu menampung
cukup banyak tenda, namun tidak disarankan karena pelataran luas tanpa
pohon ini berbahaya jika badai.
Pestan (2473 mdpl) berlatar Gunung Sindoro
Jalur semakin terjal menuju Pasar Watu,
sangat disarankan untuk memilih jalur trend kiri, karena jalur tengah
begitu licin akibat erosi yang tinggi, waktu yang dibutuhkan dari Pestan
menuju Pasar Watu adalah 25 menit. Dari pestan terlihat bukit berbatu
yang menjulang tinggi, merupakan jalur menyesatkan. Untuk menuju Watu
Kotak pilih jalur turun punggungan ke arah kiri, jangan ikuti jalur
lurus terjal menuju bukit sesat yang berbatu.
Kondisi jalur menuju pos camp terakhir sebelum summit atau dikenal dengan Watu Kotak adalah
kombinasi jalan terjal miring berbatu labil dan licin selama 35 menit.
Sangat disarankan menggunakan sepatu radial tajam dan vibram, untuk
memudahkan mobilisasi. Tempat ini sangat nyaman untuk berlindung dari
badai karena berada dibalik tebing berbatu, namun hanya muat 2 tenda
kapasitas 5 orang. Selain itu ada spot sunset yang sangat indah lengkap
dengan Sindoro di depan mata.
Sunrise Watu Kotak dan Siluet Sindoro
Saya sudah bisa memprediksi tim pendakian
kali ini akan sangat solid dan dapat dipercaya. Meskipun dengan sangat
meyebalkan, manajemen air berjalan dengan lancar, intinya pelit hehe.
Logistik pendakian banyak, namun air terbatas, akhirnya kami hanya
menyantap karbohidrat dari mie instant dan sejumlah cemilan kering, enak
tapi dijamin tidak sehat, kasihan ya pencernaan. Khas pendakian, ketika
api unggun menyala itu tanda curhat dimulai, keluh kesah, suka duka,
keluar semua. Dari yang cerah ceria bahagia, sampai resah gundah gulana
karena asmara yang susah move-on #eh menjadi perekat persahabatan. Kalau kata Ari Lasso: “Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda” (Mahameru – Dewa 19).
Omellete Penuh Cinta — haha :)